Jumat, 15 April 2011

Gizi Indikator Krisis

Jakarta, Kompas - Hingga saat ini belum ada definisi yang jelas soal krisis pangan sehingga setiap negara terutama pemerintah baik pusat maupun daerah berbeda cara menyikapinya. Oleh karena itu sudah saatnya status gizi ibu hamil dan anak di bawah lima tahun dijadikan indikator krisis pangan.
Demikian pandangan yang mengemuka dalam Seminar ”Penguatan Respons terhadap Krisis Pangan dan Pertanian Berkelanjutan dalam Konteks Nasional dan Global”, Selasa (22/3) di Jakarta.
Tampil sebagai pembicara antara lain Direktur Pusat Pengembangan Ilmu Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara Institut Pertanian Bogor Purwiyatno Hariyadi, kandidat Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian PBB Indroyono Soesilo, dan Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Franciscus Welirang.
Menurut Purwiyatno, status gizi ibu hamil dan menyusui, serta anak usia di bawah lima tahun sebaiknya dijadikan indikator krisis pangan sehingga definisi krisis pangan bisa diukur. ”Pada level gizi kurang dan gizi buruk, seperti apa bisa dikatakan krisis pangan,” katanya.
Selama ini, ketika dikatakan terjadi krisis pangan pada 2008, ternyata bahan pangan banyak, tetapi masyarakat kesulitan mengakses. Akibatnya, kebutuhan gizi masyarakat, terutama yang golongan rendah, tidak terpenuhi.
Kejelasan definisi memungkinkan baik pemerintah pusat maupun daerah menyelamatkan korban kurang gizi. Jika dari mereka banyak yang menderita gizi buruk dan kurang gizi, sudah harus dilakukan langkah dan kebijakan penyelamatan luar biasa.
Apalagi, Indonesia punya sejarah, yaitu pada 1989 jumlah balita kurang gizi dan gizi buruk 37,5 persen. Tahun 2000 turun menjadi 24,7 persen dan naik lagi tahun 2005 menjadi 28 persen. ”Kalau kita tidak nyaman dengan angka itu, perlu ada konsensus pemerintah dan DPR menyepakatinya dan menyelamatkan korban, kecuali kalau merasa nyaman,” katanya.
Franciscus menyatakan, saat ini Kadin melihat krisis pangan sudah tertangani meski lamban. ”Masalah ketersediaan pangan terkait perencanaan di Kementerian Pertanian,” katanya.
Hal itu misalnya komoditas jagung. Target produksi jagung 16,5 juta ton 2010 tak tercapai karena masih impor 1,4 juta ton. Itu terjadi karena lahan jagung di Lampung sebagai salah satu sentra dikonversi untuk tanaman singkong. ”Ini kompetisi antara pangan/pakan dengan energi. Kita sudah tahu sejak awal, tetapi masalah ini kurang ditangani,” katanya. (MAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar