Tulisan untuk Negeri...
Sebuah
Segmentasi Berpikir (bagian 1)
Oleh : Adi Sutakwa
Cara berpikir mahasiswa, sebuah
ranah penuh dinding pembatas yang secara nyata namun kasat mata telah membentuk
segmentasi-segmentasi berpikir yang sempit dan statis. Hal ini disebabkan oleh
cara pandang yang tertutup dan terhabituasi dalam kurun waktu tertentu.
Terakumulasi menjadi kelumrahan toleransi tanpa ketegasan menuju perubahan yang
terbuka.
Sifat puas diri dan persepsi
keberhasilan yang semu menyebabkan pencapaian-pencapaian kecil dipandang secara
hiperbolik sebagai pencapaian yang besar dan final. Beranggapan telah melakukan
yang terbaik dan mendapatkan yang terbaik, evaluasi yang dilakukan hanya dijalankan
sebagai keteraturan prosedural ketimbang keutuhan esensi dan makna perbaikan.
Mainset ini terus dipertahankan
dalam kehidupan berorganisasi yang akhirnya semakin menjadi konsepsi yang
abstrak berhambur tanpa tujuan yang jelas. Parahnya lagi kakak-kakak senior di lingkungan
interaksi kampus memberikan pandangan-pandangan yang terikat oleh kebiasaan
pendahulunya dan sangat kaku tanpa perbaikan yang sesuai. Hal ini semakin
membatasi cara berpikir para mahasiswa baru yang notabene baru saja mengalami
masa peralihan dari rutinitas organisasi sekolah menuju kompleksitas pergerakan
kampus. Dinamisasi tidak dapat bertahan lama dan justru mati karena kekacauan
dan kekakuan cara pikir mahasiswa senior. Mahasiswa baru hanya menjadi
robot-robot yang berusaha keras menjalankan program kerja organisasi secara
benar, membabi buta, tanpa mengerti inti dan esensi dari program tersebut.
Rutinitas semu tanpa maknawi bermutu.
Rutinitas ini berlangsung terus
menerus membentuk sebuah lingkaran yang tak terputus. Diwariskan kepada
generasi selanjutnya tanpa tujuan seutuhnya, semakin memojokkan dinamika berpikir
yang semakin pudar dan nyaris menghilang. Wabah akut organisasi seperti ini
membuat para aktivis seakan ‘tidak aktif’ dan cenderung statif. Dampak
lanjutannya adalah segmentasi berpikir yang berkutat dalam kepentingan lembaga,
kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, tidak sedikitpun menyentuh
tanah subur nan produktif bernama kepentingan bersama, kepentingan orang
banyak, kepentingan masyarakat, apalagi kepentingan negara.
Hasil akhirnya adalah perpecahan,
bukan hanya riak kecil yang mudah hilang namun kehancuran massif yang merusak
segala lini keharmonisan interaksi antar lembaga. Perpecahan besar ini umumnya
diawali oleh hal-hal sepele semisal benturan waktu pelaksaan program kerja yang
semestinya dapat diselesaikan dengan lobi-lobi diplomasi sederhana tanpa
egoisme etnis sebuah lembaga. Benturan ini menyebabkan perebutan massa sehingga
terjadi sebaran massa yang tidak terkonsentrasi pada satu event saja. Akibatnya
timbul kecurigaan antar organisasi yang terlanjur dianggap sebagai kompetitor perebut
massa dan penghambat kaderisasi. (Bersambung ... )
Konstelasi berpikir harus dibangun.
Singkirkan segala cara berpikir praktis yang merenggut segala karakter kritis.
...
Berat, moderat, memikat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar