Jumat, 08 Juni 2012

Tulisan untuk Negeri...
Sebuah Segmentasi Berpikir (bagian 1)
Oleh : Adi Sutakwa

Cara berpikir mahasiswa, sebuah ranah penuh dinding pembatas yang secara nyata namun kasat mata telah membentuk segmentasi-segmentasi berpikir yang sempit dan statis. Hal ini disebabkan oleh cara pandang yang tertutup dan terhabituasi dalam kurun waktu tertentu. Terakumulasi menjadi kelumrahan toleransi tanpa ketegasan menuju perubahan yang terbuka.
Sifat puas diri dan persepsi keberhasilan yang semu menyebabkan pencapaian-pencapaian kecil dipandang secara hiperbolik sebagai pencapaian yang besar dan final. Beranggapan telah melakukan yang terbaik dan mendapatkan yang terbaik, evaluasi yang dilakukan hanya dijalankan sebagai keteraturan prosedural ketimbang keutuhan esensi dan makna perbaikan.
Mainset ini terus dipertahankan dalam kehidupan berorganisasi yang akhirnya semakin menjadi konsepsi yang abstrak berhambur tanpa tujuan yang jelas. Parahnya lagi kakak-kakak senior di lingkungan interaksi kampus memberikan pandangan-pandangan yang terikat oleh kebiasaan pendahulunya dan sangat kaku tanpa perbaikan yang sesuai. Hal ini semakin membatasi cara berpikir para mahasiswa baru yang notabene baru saja mengalami masa peralihan dari rutinitas organisasi sekolah menuju kompleksitas pergerakan kampus. Dinamisasi tidak dapat bertahan lama dan justru mati karena kekacauan dan kekakuan cara pikir mahasiswa senior. Mahasiswa baru hanya menjadi robot-robot yang berusaha keras menjalankan program kerja organisasi secara benar, membabi buta, tanpa mengerti inti dan esensi dari program tersebut. Rutinitas semu tanpa maknawi bermutu.
Rutinitas ini berlangsung terus menerus membentuk sebuah lingkaran yang tak terputus. Diwariskan kepada generasi selanjutnya tanpa tujuan seutuhnya, semakin memojokkan dinamika berpikir yang semakin pudar dan nyaris menghilang. Wabah akut organisasi seperti ini membuat para aktivis seakan ‘tidak aktif’ dan cenderung statif. Dampak lanjutannya adalah segmentasi berpikir yang berkutat dalam kepentingan lembaga, kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, tidak sedikitpun menyentuh tanah subur nan produktif bernama kepentingan bersama, kepentingan orang banyak, kepentingan masyarakat, apalagi kepentingan negara.
Hasil akhirnya adalah perpecahan, bukan hanya riak kecil yang mudah hilang namun kehancuran massif yang merusak segala lini keharmonisan interaksi antar lembaga. Perpecahan besar ini umumnya diawali oleh hal-hal sepele semisal benturan waktu pelaksaan program kerja yang semestinya dapat diselesaikan dengan lobi-lobi diplomasi sederhana tanpa egoisme etnis sebuah lembaga. Benturan ini menyebabkan perebutan massa sehingga terjadi sebaran massa yang tidak terkonsentrasi pada satu event saja. Akibatnya timbul kecurigaan antar organisasi yang terlanjur dianggap sebagai kompetitor perebut massa dan penghambat kaderisasi. (Bersambung ... )
Konstelasi berpikir harus dibangun. Singkirkan segala cara berpikir praktis yang merenggut segala karakter kritis. ...  
Berat, moderat, memikat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar